Page 211 - Modul CA - Etika Profesi dan Tata Kelola Korporat (Plus Soal)
P. 211
ETIKA PROFESI
DAN TATA KElOlA
KORPORAT
saham publik untuk memperoleh keterbukaan informasi tidak berhasil, bahkan di RUPS upaya tersebut
selalu digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham pengendali.
Deddy Hartawan Jamin juga mengidentifikasi beberapa kejanggalan berikut ini:
1. Terdapat piutang ragu-ragu yang merupakan pinjaman tanpa bunga yang diberikan kepada anak
perusahaan, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ), yang mencapai Rp140 milyar dalam bentuk Zero
Coupon Bond (ZCB) selama 1 (satu) tahun. Pada mulanya tidak terdapat penjelasan sedikitpun tentang
siapa yang menerima utang tersebut.
2. Setelah penerbitan obligasi tersebut, perusahaan menjual kepemilikannya di SHJ ke PT Tjiwi Kima
Tbk. Pembayaran dilakukan dengan pemberian uang muka dan mencicil sisanya selama tiga tahun,
sebagian lainnya dibayar dengan kayu hasil tebangan yang ada di areal eks SHJ. Transaksi ini dinilai
merugikan. Penentu nilai aset SHJ diduga tidak mencerminkan nilai wajarnya, karena penilaian hanya
didasarkan atas saham dan besaran utang kepada SULI. Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal
SHJ pun seharusnya masuk dalam perhitungan aset.
3. Surat persetujuan Menteri Kehutanan atas penjualan SHJ kepada Tjiwi Kimia tertanggal 1 Oktober
2009, padahal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang mengagendakan penjualan
SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober 2009. Apalagi dalam salah satu klausulnya, ditegaskan bahwa
jika terjadi sengketa di antara pemegang saham, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan
dan tidak melibatkan Kementerian Kehutanan.
DOKUMEN
Fakta-fakta tersebut serta kegagalan memperoleh keterbukaan informasi melalui mekanisme internal
perusahaan menyebabkan Deddy Hartawan Jamin mengajukan gugatan ke PN Jakarta Selatan. Ada dua hal
yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam bidang industri kehutanan.
Pada tanggal 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan telah mengabulkan permohonan tersebut. Upaya
memperjuangkan keterbukaan ini sempat mendapat halangan dari Sumalindo dengan mengajukan Kasasi
IAI
di MA, namun mendapat penolakan tahun 2012.
Dalam jalannya persidangan, seperti diberitakan di beberapa media online, terungkap beberapa dugaan
pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, yaitu:
1. Adanya dugaan praktik illegal logging yang sangat masif dan sistematis di area perusahaan yang tidak
tercatat dalam laporan keuangan
2. Adanya dugaan penambangan batubara secara besar-besaran di area SHJ yang berlangsung sejak awal
tahun 2006, namun seluruh aktivitas penambangan tersebut dan keuntungan yang dihasilkannya tidak
tercatat dalam laporan keuangan perusahaan.
Penggugat menduga telah terjadi kejahatan perusahaan yang merupakan konspirasi direksi dan pemegang
saham pengendali. Dugaan tersebut didasarkan pada fakta adanya hubungan kekeluargaan antara direksi
dan pemegang saham pengendali. Presiden Direktur SULI adalah Amir Sunarko, sedangkan Komisari
Utama-nya adalah Ambran Sunarko (sebelum digantikan oleh Wijiasih Cahyasasi pada tahun 2010).
Pemegang saham pengendali SULI adalah PT Sumber Graga Sejahtera (SGS) yang pemegang saham dan
direksinya dikendalikan oleh Aris Sunarko. Aris Sunarko, Amir Sunarko, dan Ambran Sunarko dalah
keluarga kandung. Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa SGS sebagai pemegang saham SULI tidak
menyetujui pemeriksaan buku SULI diperiksa dengan alasan apapun.
Dalam kasus gugatan pemegang saham publik di atas, penggugat mengajukan tuntutan ganti rugi, baik
materiil maupun immateriil, senilai 18 triliun rupiah lebih. Penggugat juga meminta kepada Majelis Hakim
agar nilai gugatan ganti rugi tersebut dikembalikan untuk kepentingan perusahaan.
202 Ikatan Akuntan Indonesia