Page 228 - MODUL AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH
P. 228
(1) Fatwa DSN Dan Praktik Gadai Bank Syariah
Produk gadai emas syariah, berpayung di bawah fatwa DSN No: 26/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:
1. Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn.
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai
(rahin).
3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 sebelumnya, besarnya didasarkan pada
pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun dilakukan berdasarkan akad ijarah).
Tapi nyatanya, praktik gadai emas syariah berseberangan dengan fatwa di atas.
Gadai emas bank syariah pada hakikatnya adalah menggabungkan dua akad, yaitu
akad qardh (utang) dan ijarah (jual jasa). Nasabah yang menggadaikan uangnya
akan mendapat pinjaman senilai tertentu sesuai perhitungan bank, dan selanjutnya
nasabah wajib membayar biaya ‘jasa pemeliharaan’ emas sesuai yang ditetapkan
bank.
Padahal menggabungkan akad qardh dan ijarah bertentangan dengan hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib
bahwa Nabi melarang menggabungkan antara akad jual-beli dan akad qardh (HR.
Ahmad). Sanad hadits ini dinyatakan hasan oleh Tirmizi). Perlu di ingatkan bahwa
akad ijarah termasuk bagian akad jual-beli, karena hakikatnya ijarah adalah jual-
beli jasa. Maka menggabungkan antara akad ijarah dengan dengan akad qardh sama
hukumnya dengan menggabungkan akad jual beli dan akad qardh, yang hukumnya
terlarang.
Adapun isi ayat (2) pada fatwa DSN No. 26 Tentang Rahn yang berbunyi “Ongkos
dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).” dan
ayat (3) “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 sebelumnya, besarnya didasarkan
pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.” masih bisa ditolerir dengan syarat
bahwa ongkos tersebut tidak disyaratkan dalam akad qardh. Artinya, pada saat
219 | A K A D , T A T A K E L O L A D A N E T I K A S Y A R I A H