Page 262 - MODUL AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH
P. 262

(menggabungkan  tanggungan)  di  dalam  penuntutan  atau  penagihan,  bukan  al-

                        Naqlu  (memindah).  Maka  oleh  karena  itu,  dengan  adanya  al-hiwalah,  menurut
                        kesepakatan  ulama,  pihak  yang  berutang  (dalam  hal  ini  maksudnya  adalah  al-

                        Muhil) tidak di tagih lagi.




                        B.   DASAR HUKUM HAWALAH

                        1.   QS. Al-Baqarah (2): 280:
                        “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
                        berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,

                        jika kamu mengetahui.”
                        2.   HR. Bukhari
                        "Menunda-nunda  pembayaran  utang  yang  dilakukan  oleh  orang  mampu  adalah  suatu

                        kezaliman.  Maka,  jika  seseorang  di  antara  kamu  dialihkan  hak  penagihan  piutangnya
                        (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah."
                        3.   HR. Bukhari dan Muslim

                        “Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan
                        zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka

                        hendaklah ia beralih (diterima pengaliah tersebut)”.
                        4.   Ijma
                        Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang

                        tidak  berbentuk  barang/  benda,  karena  hawalah  adalah  perpindahan  utang,  oleh

                        sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

                        Adapun Ijma maka secara garis besar seluruh ulama sepakat bahwa hawalah adalah

                        boleh.  Akad  hawalah  boleh  dilakukan  terhadap  ad-Dain  (harta  yang  masih
                        berbentuk utang), bukan terhadap al-ain (harta yang barangnya berwujud secara

                        konkrit, biasanya diartikan barang), atau dengan kata lain akad hawalah sah apabila

                        muhal bih bukan berupa utang barang (al-Ain). Karena akad hawalah memiliki arti
                        an-Naqlu atau at-Tahwiil (memindahkan atau mengalihkan), dan hal ini hanya bisa

                        dilakukan terhadap harta yang masih berbentuk utang, tidak bisa dilakukan terhadap
                        al-Ain (barang), sehingga tidak sah mengadakan akad hawalah terhadap al-Ain.





                        253 | A K A D ,   T A T A   K E L O L A   D A N   E T I K A   S Y A R I A H
   257   258   259   260   261   262   263   264   265   266   267