Page 263 - MODUL AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH
P. 263
5. Kaidah Fikih
a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkan”
b. “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”
C. FATWA DSN MUI
Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa
DSN MUI NOMOR 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang hiwalah disebutkan bahwa:
1. Rukun hiwalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal
alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang
kepada muhtal, muhal bīh, yakni utang muhīl kepada muhtal, dan sighat (ijab-
qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern
4. Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan
muhal alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara
tegas.
6. Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah
muhtal dan muhal alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal
alaih
7. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Menurut mazhab Hanafi, rukun hawalah hanya ijab (pernyataan melakukan
hawalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hawalah) dari pihak
kedua dan pihak ketiga.
254 | A K A D , T A T A K E L O L A D A N E T I K A S Y A R I A H