Page 12 - MODUL AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH
P. 12
perbuatan tertentu yang membuktikan keridaan dalam melangsungkan akad antara
dua pihak atau lebih, yang menghindarkan dari pembatalan akad yang tidak
berdasarkan syariat. Oleh karenanya dalam Islam, tidak semua bentuk perjanjian
dan kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terutama perjanjian atau
kesepakatan yang tidak berlandaskan syariah (Syafe’i, 2004).
C. PERBEDAAN WA’D DAN AKAD
Jika dilihat dari bentuknya, saling berjanji menyerupai akad, tapi secara substansi,
saling berjanji (al-muwa’adah) berbeda dengan akad. Praktik al-muwa’adah ini
dapat ditemui dalam beberapa akad perbankan syariah seperti dalam akad
Musyarakah Mutanaqishah dan akad Murabahah. Dalam akad Musyarakah
Mutanaqishah, lembaga keuangan syariah (LKS) berjanji akan menjual sejumlah
kepemilikan (hisshah) pada nasabah secara bertahap dan sebaliknya, nasabah
berjanji akan membeli hishah yang dijual oleh LKS. Kemudian, dalam akad
Murabahah unsur saling berjanji adalah ketika proses pembelian barang akan
didahului dengan pemesanan sebagai janji (wa’d) akan membeli. Dapat
disimpulkan bahwa muwa’adah terjadi sebelum adanya akad, tapi sudah terjadi
kesepakatan untuk melakukan akad pada waktu yang akan datang (Mubarok dan
Hasanudin, 2017).
Janji atau saling berjanji (wa’d/muwa’adah) bukan akad, tapi menyerupai akad
karena tiga sebab:
1. Dengan akad, maka timbul hak dan kewajiban yang efektif. Sedangkan dalam
janji maupun saling berjanji tujuan akad utama (munajjaz) belum tercapai.
2. Efektivitas akad bersifat otomatis dari segi alamiahnya, yaitu akad berlaku
umumnya perlaksanaanya bersifat masa depan (forward/mudhaftan ila al-
mustaqbal) karena janji pada dasarnya merupakan pernyataan kehendak dari
pihak tertentu untuk melakukan sesuatu pada masa yang akan dating.
Sehingga perbuatan hukum dalam akad bersifat elektif pada saat akad itu
dilakukan, sedangkan perbuatan hukum dari janji belum elektif saat janji itu
4 | A K A D , T A T A K E L O L A D A N E T I K A S Y A R I A H