Page 14 - MODUL AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH
P. 14
2. Fatwa DSN-MU Nomor:73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah, dan Fatwa DSN-MU Nomor:04/DSN-MUI/XII/2007 tentang
Ju’alah.
3. Janji yang secara eksplisist tidak mengikat dan tidak wajib dipenuhi. Hal ini
terdapat dalam Fatwa DSN-MU Nomor:22/DSN-MUI/III/2002 tentang
Pembiayaan Ijarah Muntahiya bit Tamlik.
E. HUKUM MENUNAIKAN JANJI
Terdapat perbedaan (Ikhtilaf) dalam kewajiban pemenuhan janji, namun jumhur
ulama sepakat bahwa memenuhi janji hukumnya wajib baik untuk urusan secara
agama (diyanah), maupun secara hukum positif (qadha’iyah). Selanjutnya Al-
Syekh Ahmad Ibn Muhammad al-Razin dalam Hukm al-Ilzam al-Wafa’ bi al-Wa’d
terdapat empat ikhtilaf ulama mengenai kewajiban pemenuhan janji secara
qadha’iyah:
1. Menurut ulama Malikiyah, hukum memenuhi janji adalah muthlaq wajib
dipenuhi.
2. Menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah tidak wajib
memenuhi janji secara hukum.
3. Menurut ulama Hanafiah, hukum memenuhi janji bersyarat adalah wajib
secara hukum jika syarat tersebut mulai diwujudkan/terpenuhi.
4. Menurut ulama Malikiyah, hukum memenuhi janji bersyarat adalah wajib
secara hukum jika sebab tersebut mulai diwujudkan/terpenuhi.
5.
Terdapat beberapa penjelasan mengenai perbedaan (ikhtilaf) dalam hukum
kewajiban memenuhi janji, diantaranya:
1. Janji tidak wajib menunaikannya
Wahbah al-Zuhaili (2006) dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh menjabarkan
bahwa sejumlah ulama yang menyatakan bahwa hukum menunaikan janji adalah
tidak wajib jika dilihat dari hukum positif (Qadha’iy), namun hukumnya menjadi
dianjurkan/mandub (Sunnah) dan termasuk akhlak mulia. Ulama-ulama tersebut
6 | A K A D , T A T A K E L O L A D A N E T I K A S Y A R I A H