Berita IAI

"Darurat Krisis di tangan RI-01"

28 Juli 2016 - Siaran Pers



Status krisis negara kini berada di tangan Presiden. Langkah maju menuju upaya mencapai welfare state dan sustainable development?

 

Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) seakan memberikan hak imunitas kepada anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam bekerja. Mereka tidak dapat lagi dikriminalisasi. Tanggungjawab mereka untuk mengawal stabilitas sistem keuangan nasional, dapat dijalankan semakin leluasa dengan hadirnya beleid baru tersebut.

Selain itu, forum beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS, tak perlu lagi risau bakal jadi ‘tumbal’ tangantangan hukum. Mereka berpeluang terhindar dari ancaman meja hijau bila penanganan krisis dalam sistem keuangan nasional dituding janggal dan penuh sengkarut masalah di kemudian hari.

Soalnya kewenangan KSSK telah dilucuti UU PPKSK. Mereka tidak berhak lagi menetapkan status negara dalam krisis keuangan. Pun lembaga tersebut juga tidak lagi diperkenankan seenaknya menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam menjalankan program penanganan krisis sistem keuangan. Keputusan akhir kini mutlak milik Presiden Indonesia. Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan Ketua Dewan Komisioner LPS hanya sebatas memberikan rekomendasi kelembagaan.

UU PPKSK menyebutkan Presiden dapat menyatakan status sistem keuangan sesuai rekomendasi atau menolak rekomendasi FKSSK dalam tempo paling lambat 1x24 jam. Pasal lain menegaskan pula jika terjadi permasalahan dalam sektor perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, FKSSK merekomendasikan penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan kepada Presiden. Keputusan Presiden atas krisis tersebut akan ditetapkan melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) atau aturan hukum lainnya yang sejenis, agar berkekuatan hukum tetap.

“Di negara-negara maju, keputusan krisis memang ada di tangan Presiden sebagai pimpinan tertinggi sebuah negara. Di Amerika Serikat juga seperti itu praktiknya, karena

penggunaan dana untuk kebutuhan krisis merupakan milik negara,” ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara yang juga Komisioner Ex Officio OJK.

 

Pro dan Kontra

Komitmen untuk membangun stabilitas keuangan yang lebih kondusif, diwujudkan melalui strategi kebijakan yang lebih prudent. Hadirnya Presiden sebagai penentu akhir keputusan status krisis negara, menjadi langkah antisipatif pemerintah dalam penggunaan sumberdaya keuangan negara yang terbatas untuk kepentingan prioritas berorientasi jangka panjang.

Hal ini untuk memastikan bahwa ketahanan fiskal pemerintah terpelihara dengan baik agar proses pembangunan berkelanjutan tidak mengalami hambatan. Cita-cita untuk

Melahirkan sebuah negara sejahtera (welfare state) tentu saja harus memerlukan landasan kebijakan sistematis, fokus, dan konservatif di bidang keuangan, sehingga agenda pembangunan yang dicanangkan berjalan pada koridor yang tepat.

Ekonom Raden Pardede setuju jika anggota KSSK tidak perlu bertanggungjawab atas keputusan krisis di sektor keuangan, karena mereka telah berusaha bekerja sebaik mungkin dalam menyelamatkan perekonomian nasional. Menurutnya, keputusan krisis di tangan Presiden akan membuat anggota KSSK semakin profesional dalam bekerja.

Raden mengungkapkan, pengalaman anggota KSSK yang dikriminalisasi dalam upayanya menangani krisis tidak lagi menjadi preseden sektor keuangan, apalagi sampai mereka harus berhadapan dengan hukum karena adanya perbedaan pandangan dalam menentukan krisis dan mengambil kebijakan bail out. “Seharusnya anggota KSSK tidak perlu dikejar-kejar atas keputusan masa lalu,” ujarnya.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro. Menurutnya langkah tersebut kurang tepat karena keputusan krisis keuangan lebih bersifat teknis, serta membutuhkan kalkulasi dan analisa data mendalam. Presiden tentu saja akan kesulitan mengambil keputusan dengan keterbatasan data dan informasi, untuk memutuskan suatu negara dalam keadaan krisis atau tidak. Kewenangan tersebut bukan lah ranah pimpinan negara.

Dia mengatakan seharusnya keputusan penetapan krisis tersebut tetap berada di KSSK, karena mereka lebih mengetahui dan mengikuti data perekonomian terkini serta memahami substansi persoalan. Tanggungjawab tersebut sudah tepat bila menjadi otoritas pemangku kebijakan yang berkecimpung di sektor tersebut, dan bukan diletakkan di pundak presiden.

“Presiden bertanggungjawab untuk keputusan politis, tapi bukan keputusan teknis. Keputusan krisis seharusnya menjadi tanggungjawab otoritas sektor keuangan karena mereka digaji untuk itu. Mereka tidak boleh lari dari tanggung jawab tersebut,” tandasnya.

Ari mengatakan Presiden akan dimintai pertangungjawaban publik bila mengambil keputusan kurang tepat dalam penetapan krisis. Kesalahan tersebut akan menjadi noktah hitam dalam kepemimpinan Presiden, yang terus dikenang masyarakat secara turun-temurun karena berefek luas dalam bidang perekonomian dan kehidupan mereka.

Menurutnya Presiden harus berhatihati dalam mengambil keputusan keuangan dalam ranah krisis. Data-data perekonomian aktual dan objektif harus menjadi pertimbangan strategis dalam memutuskan status final krisis sebuah negara. Standarisasi indikator kuantitatif seperti BI rate, kurs rupiah, tingkat inflasi perlu diperjelas untuk menjadi rujukan penting dalam menetapkan keputusan krisis.

“Keputusan krisis akan membahayakan Presiden. Dia akan dikejar-kejar terus di masa depan, bila keputusan tersebut bermasalah,” ujarnya. *AFM

(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi April – Juni 2016)

CA, Tentukan Kesuksesanmu!