Berita IAI

Siaran Pers IAI - Revisi KUP untuk Sistem Perpajakan yang Lebih Adil

08 Juli 2021 - Release


Pengurangan pengecualian Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang diusulkan masuk dalam revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dinilai akan menciptakan sistem yang lebih adil. Skema PPN dengan tarif tunggal yang dibarengi dengan banyak pengecualian seperti saat ini justru menciptakan sistem yang tidak adil. Pasalnya, pengecualian PPN disinyalir justru lebih banyak dinikmati masyarakat berpenghasilan tinggi.

Demikian antara lain substansi diskusi yang mengemuka dalam acara Online Regular Tax Discussion yang diselenggarakan Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI) bekerjasama dengan OnlinePajak pada Rabu, 7 Juli 2021. Acara ini dibuka oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI, Prof. Mardiasmo, dan diikuti oleh lebih dari 1.500 peserta yang merupakan stakeholders perpajakan Indonesia, baik dari kalangan regulator, profesi akuntan, praktisi perpajakan, akademisi, dan kalangan umum.

Dalam sambutannya, Prof. Mardiasmo mengungkapkan bahwa profesi akuntan, sebagai salah satu stakeholders utama perpajakan, memiliki tanggungjawab untuk memberikan kejelasan atas wacana terkait perpajakan yang kini tengah mengemuka di tengah masyarakat. Apalagi terkait adanya usulan pemajakan terbaru menyangkut kebijakan PPN dan PPh yang tercantum dalam draf RUU Perubahan Kelima atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Beberapa hal yang saat ini telah menjadi diskursus publik, antara lain terkait adanya rencana pengenaan PPN atas sembako, pendidikan, hingga kesehatan karena akan dihapuskannya ketentuan mengenai Barang dan/atau Jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana yang selama ini diatur dalam Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).

Berikutnya terkait rencana menaikkan tarif PPN yang selama ini adalah 10% menjadi 12% hingga adanya wacana untuk menerapkan skema multitarif untuk PPN, serta adanya wacana tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) minimum bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki pajak penghasilan tidak lebih 1% dari penghasilan bruto.

Menurut Prof. Mardiasmo, semua wacana dan rencana regulasi serta aturan turunannya ini perlu disosialisasikan kepada semua pihak agar tidak menjadi bola liar, sekaligus agar tercipta harmonisasi di kalangan regulator dan wajib pajak sehingga tercipta dunia perpajakan Indonesia yang semakin kondusif dan berkeadilan. “IAI sebagai organisasi profesi yang menaungi Akuntan Profesional di seluruh Indonesia, akan selalu mengambil peran penting di dalam aktivitas ini,” tegasnya.

Ketua Dewan Konsultatif KAPj IAI dan Managing Partner DDTC, Darussalam yang menjadi narasumber dalam acara itu menyampaikan, berdasarkan studi yang dilakukan Keen (2013), secara agregat nilai konsumsi kelompok berpenghasilan tinggi akan lebih tinggi dari kelompok berpenghasilan rendah. Akibatnya, adanya perlakuan PPN khusus justru berpotensi 'bocor' dan dinikmati oleh kelompok berpenghasilan tinggi.

Selain itu, berdasarkan pada hasil riset atas 31 negara berkembang yang dipublikasikan World Bank, kebijakan berupa tarif 0%, pengecualian, atau pembebasan, justru akan membuat sifat regresif PPN relatif kian kuat dan tidak adil. Pasalnya, fasilitas yang awalnya ditujukan bagi kelompok berpenghasilan rendah justru akan berpindah bagi kelompok menengah ke atas. Apalagi, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah cenderung mengkonsumsi barang pokok dari sektor informal yang notabene tidak memungut PPN. Sementara kelompok masyarakat kaya memenuhi kebutuhan lebih banyak dari sektor formal.

Karena itu, berdasarkan fakta tersebut, Darussalam mengusulkan sebaiknya PPN dikenakan atas barang dan jasa yang selama ini dikecualikan dari sistem PPN. Kemudian penerimaan pajak yang terkumpul dari pengenaan PPN tersebut nantinya dapat diredistribusikan kepada pihak yang membutuhkan.

“Untuk menciptakan sistem PPN sebagai sistem pajak konsumsi yang utuh, Indonesia perlu mengurangi pengecualian-pengecualian PPN yang selama ini berkontribusi besar terhadap belanja perpajakan Indonesia,” jelas Darussalam. Menurutnya, belanja pajak tahun 2019 akibat pengecualian PPN tercatat mencapai Rp73 triliun atau 29% dari total belanja perpajakan senilai Rp257,2 triliun. Dikhawatirkan jumlah sebesar itu justru dinikmati oleh kelompok penghasilan mampu sehingga tidak tepat sasaran.

Tentang IAI

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah organisasi profesi akuntan yang menaungi seluruh akuntan di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. IAI merupakan anggota dan pendiri International Federation of Accountants (IFAC) dan ASEAN Federation of Accountants (AFA), serta associate member Chartered Accountants Worldwide (CAW). 

Untuk menjaga integritas dan profesionalisme akuntan Indonesia, IAI menerbitkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Sebagai standard setter, IAI menyusun dan menetapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.

Informasi lebih lanjut tentang IAI, kunjungi www.iaiglobal.or.id, atau email ke iai-info@iaiglobal.or.id. Terkait pandemi Covid-19, IAI telah mengeluarkan sejumlah guidance yang bisa diakses melalui http://www.iaiglobal.or.id/