Berita IAI

Siaran Pers IAI - Urgensi Pelaporan Keberlanjutan untuk Masa Depan Ekonomi Global

13 Mei 2024 - Lainnya


(Jakarta, Mei 2024) - Dampak keuangan dari isu iklim pada dasarnya dipicu oleh keputusan strategis yang diambil perusahaan dalam mengelola risiko yang terjadi dan memanfaatkan peluang yang dimiliki. Sebagai contoh, perubahan iklim akan mempengaruhi belanja modal perusahaan dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sifat dan jumlah aset jangka panjang, serta proporsi utang dan ekuitas pada laporan posisi keuangan. Hal itu disampaikan oleh Anggota DPN IAI, Prof. Dr. Lindawati Gani, CA dalam Sustainable Taxonomy Workshop: Advancing Indonesia’s Financial Sector yang diselenggarakan oleh Bank Dunia, 7-8 Mei 2024 di Jakarta.

Realitanya, saat ini standar yang digunakan terkait pelaporan informasi keberlanjutan ini cenderung terfragmentasi dengan beragam pengguna dan tujuan pelaporannya. Tidak dipungkiri, terjadi kebingungan di kalangan pengguna informasi keberlanjutan, mengakibatkan berlanjutnya inefisiensi, peningkatan biaya, dan berdampak pada kurangnya kepercayaan. Selain itu, kondisi ini juga cenderung membebani dan bahkan mengintimidasi siapapun yang ingin memahami dasar-dasar proses pengungkapan keberlanjutan ini.

Karena itu, kebutuhan akan pengungkapan informasi keberlanjutan dan adanya standar global, dirasakan semakin mendesak. Konsistensi pelaporan dan ketersediaan informasi yang sebanding, diperlukan untuk membangun sistem pelaporan entitas global yang koheren dan saling berhubungan.

“Kondisi ini tentunya akan berimplikasi terhadap arus kas Perusahaan di masa depan,” jelas Prof. Linda, yang juga merupakan Member Profesional Accountancy in Business (PAIB) Advisory Group IFAC dan Board Member Chartered Accountants Worldwide (CAW).

Merespon realita tersebut, IFRS Foundation dalam acara UN COP26 di Glasgow pada akhir tahun 2021, mengumumkan pembentukan International Sustainability Standards Board (ISSB), konsolidasi Climate Disclosure Standards Board (CDSB) dan Value Reporting Foundation ke dalam ISSB, serta penerbitan prototypes yang akan menjadi cikal bakal draf eskposur dari IFRS S1 dan S2. Prototypes ini disusun oleh Technical Readiness Working Group (TRWG) yang terdiri dari Climate Disclosure Standards Board (CDSB), Value Reporting Foundation, International Accounting Standards Board (IASB), Task Force on Climate-Related Financial Disclosure (TCFD), dan juga International Organization of Securities Commission (IOSCO). Pengumuman ini disambut baik oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari lebih 40 negara di dunia.

Selanjutnya, ISSB menerbitkan standar untuk pengungkapan keberlanjutan dan IASB yang mengeluarkan standar untuk laporan keuangan, yang keduanya berada di bawah naungan IFRS Foundation. Karena itu, ke depan diharapkan pengungkapan keberlanjutan akan terintegrasi dengan laporan keuangan, sehingga dapat dipahami dengan baik dan komprehensif. IASB dan ISSB akan bekerja sama untuk saling mengaitkan dan menghubungkan informasi keuangan dan informasi keberlanjutan, untuk memenuhi kebutuhan investor.

Dalam rangka mempersiapkan rencana dan implementasi keberlanjutan di Indonesia, Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (DPN IAI) telah menetapkan pembentukan Task Force Comprehensive Corporate Reporting (TF CCR) IAI pada 15 Desember 2020. Sebagai langkah proaktif berikutnya terkait keberlanjutan, IAI telah menetapkan pembentukan Dewan Pemantau Standar Keberlanjutan (DPSK) dan Dewan Standar Keberlanjutan (DSK) IAI. Pembentukan kedua dewan ini ditetapkan dengan mekanisme three tiers mengadopsi governance IFRS Foundation dalam penerbitan IFRS Accounting Standards, untuk menjamin penguatan governansi dan akuntabilitas dalam proses penyusunan standar keberlanjutan. Keanggotaan DPSK dan DSK IAI terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, antara lain dari Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta perwakilan industri, akademisi, dan praktisi yang memahami aspek keberlanjutan. Adapun TF CCR IAI sendiri bertransformasi menjadi Indonesia Sustainability Reporting Forum.

Implementasi IFRS S1 dan S2

IAI mendukung sepenuhnya penerbitan dua standar perdana dari ISSB, yaitu IFRS S1 dan S2 yang dirilis pada 26 Juni 2023. Terbitnya IFRS S1 dan IFRS S2 ini menandai dimulainya pekerjaan besar oleh profesi akuntansi untuk mengantarkan era baru pengungkapan terkait keberlanjutan bagi entitas bisnis dan pasar modal di seluruh dunia. IFRS S1 menyediakan serangkaian persyaratan pengungkapan yang dirancang untuk memungkinkan perusahaan berkomunikasi dengan investor tentang risiko dan peluang terkait keberlanjutan yang dihadapi dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. IFRS S2 menetapkan pengungkapan informasi mengenai risiko dan peluang terkait iklim dan dirancang untuk digunakan dengan IFRS S1.

Prof. Linda menjelaskan, pendekatan yang dipakai dalam penyusunan standar ini adalah building block, yang menunjukkan informasi sustainability dan informasi keuangan yang saling melengkapi. Standar yang disusun oleh ISSB memang ditujukan dan berfokus pada investor yang melaporkan isu keberlanjutan terkait dengan keuangan. Adapun masing-masing yurisdiksi dapat membuat aturan tambahan dalam penyusunan sustainability reporting sesuai dengan kebutuhan, yang ditujukan pada pemangku kepentingan yang lebih luas dan mencakup seluruh isu keberlanjutan, tidak hanya yang terkait dengan keuangan.

Menurut Guru Besar Akuntansi FEB UI itu, fokus IFRS Foundation dalam penyusunan standar ini adalah memenuhi kebutuhan informasi investor. Oleh karena itu, ISSB menggunakan definisi ‘material’ yang sama dengan yang digunakan dalam IFRS Accounting Standards – yaitu, informasi bersifat material jika menghilangkan, mengaburkan, atau salah menyajikan informasi yang diperkirakan dapat mempengaruhi keputusan investor.

Sementara pengungkapan keuangan terkait keberlanjutan ditujukan untuk entitas pelapor yang sama dengan laporan keuangan terkait. Pengungkapan ini dipublikasikan pada waktu yang sama, namun dengan keringanan transisi pada tahun pertama pelaporan dan pengungkapan sebagai bagian dari laporan keuangan bertujuan umum. Prof. Linda menambahkan, ISSB tidak menentukan posisi atau letak pengungkapan dalam laporan keuangan bertujuan umum dan memungkinkan adanya informasi tambahan, yang memudahkan penerapan di yurisdiksi yang berbeda. Namun ISSB meminta enam karakteristik kualitatif tetap terefleksi dari pelaporan itu, yaitu relevansi, representasi yang tepat, dapat dibandingkan, dapat diverifikasi, tepat waktu, dan dapat dipahami.

Menurut Prof. Linda, beberapa cara yang dapat dilakukan perusahaan dalam jangka pendek antara lain mempelajari dan meninjau standar yang diusulkan ISSB dan sumber panduan yang ada, seperti standar Sustainablity Accounting Standards Board (SASB), rekomendasi TCFD, CDSB framework, dan European Sustainability Reporting Standards (ESRS) guidance.

Standar SASB membantu mengidentifikasi topik dan metrik keberlanjutan serta panduan ilustratif untuk pengungkapan industry-spesific. Rekomendasi TCFD membantu memahami struktur laporan, karena TCFD dirancang untuk mengumpulkan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan, berwawasan ke depan dan berfokus pada tata kelola, strategi, manajemen risiko, dan metrik dan target. Selanjutnya CDSB framework membantu mengidentifikasi risiko dan peluang keberlanjutan serta pengungkapan. Terakhir, ESRS guidance membantu mengidentifikasi metrik dan pengungkapan.

Prof. Linda menambahkan, entitas juga bisa mulai menginternalisasi keberlanjutan dalam organisasi, baik pada level manajemen, proses remunerasi, struktur organisasi, profil risiko, dan pelaporan entitas. Selain itu, perusahaan bisa segera menetapkan proses dan kontrol yang tepat untuk data yang dibutuhkan, serta melakukan komunikasi terkait keberlanjutan agar membentuk pola pikir dan budaya perusahaan yang berkelanjutan.

Selanjutnya, entitas dapat melakukan penilaian materialitas dengan memasukkan pertimbangan kedua atas materialitas tersebut. Kemudian entitas mengklarifikasi apa saja persyaratan pelaporan yang dibutuhkan, prioritas dan timeline entitas, serta ekspektasi dari pemangku kepentingan entitas. Keseluruhan pertimbangan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu dasar untuk memahami sejauh mana reporting gaps entitas jika dibandingkan dengan persyaratan yang diminta oleh ISSB Standards. Setelah itu entitas dapat mengomunikasikan persyaratan data yang dibutuhkan kepada pihak yang terkait.

Melengkapi penjelasannya, Prof. Linda menyebutkan, untuk mendukung proses internalisasi ESG ke dalam praktik bisnis, proses dan pengendalian data menjadi sangat penting. Karena itu, entitas perlu memastikan adanya pengendalian internal dan sistem manajemen risiko yang tepat, sehingga pertimbangan keberlanjutan dipahami di seluruh tingkatan dan diterapkan di seluruh operasi bisnis. Selain itu, dewan direksi/dewan komisaris (Dewan) dan manajemen melakukan analisis skenario risiko, dengan memahami eksposur risiko ESG dan potensi dampaknya.

Untuk memastikan kualitas pelaporan ESG dan mengikuti perkembangan peraturan dan harapan pelaporan keberlanjutan, entitas perlu memastikan bahwa pengendalian internal, proses dan prosedur cukup kuat untuk memastikan keakuratan, keandalan, konsistensi dan kualitas informasi yang dilaporkan. Karena itu, manajemen perlu memiliki keahlian untuk mengembangkan metrik dan KPI yang tepat, sementara Dewan mengkomunikasikan pola pikir yang dibutuhkan dan menetapkan pola budaya dari atas. Di sisi lain, Dewan perlu mendefinisikan dan memenuhi tujuan perusahaan dan memastikan risiko-risiko ESG ditangani.

Prof. Linda juga menjelaskan berbagai faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana suatu perusahaan memasukkan aspek-aspek ESG dan keberlanjutan ke dalam prosedur pengambilan keputusannya. Faktor itu antara lain perubahan budaya dan perilaku Perusahaan, kematangan suatu organisasi karena perusahaan berada pada tingkat kematangan yang berbeda-beda, lanskap peraturan dan pengungkapan sukarela yang terus berkembang, komitmen net-zero dan komitmen positive entity. Selain itu, Dewan harus melihat lebih dari sekedar pandangan pemegang saham dan memahami pandangan pemangku kepentingan secara langsung agar dapat memberikan informasi yang lebih baik dalam pengambilan keputusan direksi.

Di bagian akhir, Prof. Linda memberikan penekanan bahwa entitas dapat membangun kapasitas organisasi, meningkatkan model operasi dan aktivitas manajemen perubahan strategis, serta meningkatkan keterampilan dewan dan manajemen seputar prioritas strategis ESG, lalu menghubungkan pemangku kepentingan yang relevan, termasuk tim pelaporan keuangan dan keberlanjutan.

“Mengatasi keberlanjutan bukan lagi hal yang “baik untuk dilakukan”. Ini adalah masalah kepercayaan dan reputasi yang sangat strategis bagi setiap entitas,” pungkas Prof. Linda.

Tentang IAI

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah organisasi profesi akuntan yang menaungi seluruh akuntan di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. IAI merupakan anggota dan pendiri International Federation of Accountants (IFAC) dan ASEAN Federation of Accountants (AFA), serta associate member Chartered Accountants Worldwide (CAW).

Untuk menjaga integritas dan profesionalisme akuntan Indonesia, IAI menerbitkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Sebagai standard setter, IAI menyusun dan menetapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.

Informasi lebih lanjut tentang IAI, kunjungi www.iaiglobal.or.id, atau email ke iai-info@iaiglobal.or.id