Page 139 - Modul CA - Manajemen Perpajakan (Plus Soal)
P. 139

MANAJEMEN PERPAJAKAN







            10.6.3  Hal Lain yang Harus Diperhatikan Terkait dengan Perencanaan Pajak pada PPh Potong Pungut

            1.     Jika terjadi kesalahan potong
                   Bagi pihak pemotong/pemungut pajak, jika terjadi kesalahan pemotongan yang mengakibatkan
                   timbulnya sanksi pajak (salah potong dianggap tidak memotong), misalnya seharusnya dipotong
                   PPh pasal 23, akan tetapi dipotong PPh pasal 21, maka langkah yang harus segera diambil adalah
                   dengan mengajukan permohonan pemindahbukuan ke KPP tempat pemotong terdaftar. Agar pajak
                   yang telah dipotong tersebut dapat dijadikan kredit pajak oleh pihak yang dipotong, maka pihak
                   yang dipotong harus diberikan bukti SK pemindahbukuan tersebut. Jadi dengan adanya Surat
                   Keputusan Pemindahbukuan (SK PBK), maka pihak pemotong akan terhindar dari sanksi dianggap
                   tidak memotong, sedangkan pihak yang dipotong terhindar dari sanksi tidak dapat mengkreditkan
                   pajak yang telah dipotong

            2.     Jika pihak penerima penghasilan tidak mau dipotong pajak (kontrak “net of tax”)
                   Jika pihak penerima penghasilan akan menerima penghasilan tanpa dipotong pajak, maka kewajiban
                   menyetorkan pajak yang terutang tetap harus dilakukan, namun kewajiban menanggung beban
                   pajak tersebut menjadi beralih kepada pihak pemberi penghasilan (pihak pemotong). Ada 2 (dua)
                   cara yang dapat dilakukan, yakni:
                   1.  Pihak pemberi penghasilan menanggung sendiri pajak yang terutang sebesar tarif yang terutang.
                     Jika pihak pemberi penghasilan memilih cara ini, maka jumlah pajak yang ditanggung sendiri
                     tersebut tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan dalam
                               DOKUMEN
                     menghitung Penghasilan Kena Pajak.
                   2.  Meng-gross up pajak yang terutang. Dengan melakukan gross up maka konsekwensinya pajak yang
                     dibayar ke Kas Negara menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Namun dengan cara ini, pihak
                     pemberi penghasilan dapat membebankan pajak yang dibayarnya tersebut sebagai pengurang
                     penghasilan bruto.
                                                     IAI
                   Catatan: Pemilihan cara a) atau cara b) didasarkan atas seberapa besar perusahaan (pemberi
                   penghasilan)  berkepentingan  terhadap  pembebanan  biaya.  Jika  perusahaan  ingin  membebankan
                   pajaknya sebagai biaya, maka pilihan cara b) lebih efisien dan sebaliknya.


            10.6.4 Khusus untuk Pembayaran kepada WPLN, perlu diperhatikan apakah penghasilan yang
            diberikan kepada pihak WPLN tersebut merupakan passive income (bunga, dividen dan royalti) atau
            active income (penghasilan dari jasa atau kegiatan), karena perlakuan pajaknya akan berbeda manakala
            kita bertransaksi dengan WPLN mitra perjanjian (tax treaty partner) dan WPLN Non treaty partner.

            1.     Perlakuan pajak jika WPLN tersebut merupakan resident negara treaty partner:
                   Untuk  passive  income yang diterima WPLN  treaty  partner, pihak pembayar di Indonesia wajib
                   memotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif  tax treaty yang bersangkutan (reduced rate
                   treaty) dengan persyaratan dilampirkannya  Certificate  of  Resident  (COR)/Certificate of Domicile
                   (COD) yang sekarang dikenal dengan sebutan Form DGT – 1 dan Form DGT - 2 pada SPT Masa
                   PPh Pasal 26. Dalam hal ini Indonesia sebagai negara sumber tetap memiliki hak pemajakan atas
                   passive income tersebut, tanpa melihat apakah WPLN tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT)
                   di Indonesia atau tidak. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar
                   di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 (bukan PPh pasal 26).

                   Sebaliknya untuk active income yang diterima WPLN treaty partner, pihak pembayar di Indonesia
                   tidak wajib memotong PPh Pasal 26 manakala WPLN tersebut tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap
                   (BUT) di Indonesia (dalam hal ini hak pemajakan ada pada Negara domisili sesuai dengan artikel
                   tentang “business profit” tax treaty) dengan persyaratan dilampirkannya COR/COD. Apabila WPLN
                   tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal
                   23 (bukan PPh Pasal 26).





     130     Ikatan Akuntan Indonesia
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144