Page 153 - Modul CA - Manajemen Perpajakan (Plus Soal)
P. 153
MANAJEMEN PERPAJAKAN
11.2.2 Pengendalian atas Pajak Masukan
Terkait pajak masukan yang harus diperhatikan adalah ketentuan yang diatur Pasal 9 ayat (8) Undang-
undang PPN.
Pasal 9 ayat (8) Undang-undang PPN menyatakan:
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi
pengeluaran untuk:
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Dihapus;
f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
DOKUMEN
g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (6);
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak;
IAI
i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang pajak masukannya tidak dilaporkan
dalam surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan; dan
j. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena
Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN, secara berlawanan dapat diartikan bahwa Pajak masukan yang
dapat dikreditkan adalan pajak masukan yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Menyikapi hal
ini, perusahaan harus bisa memilah agar tidak terjadi suatu pajak masukan yang seharusnya bisa dikreditkan
tetapi tidak dikreditkan oleh perusahaan dan sebaliknya. Jika ada pajak masukan yang seharusnya bisa
dikreditkan tetapi perusahaan lalai tidak mengkreditkannya, maka hal ini dapat memboroskan cashflow
perusahaan jika PPN dalam masa tersebut secara keseluruhan masih kurang bayar; kebalikannya, jika ada
pajak masukan yang seharusnya tidak bisa dikreditkan tetapi oleh perusahaan lalai dikreditkan maka selain
akan terkena sanksi Pasal 13 ayat (2) KUP juga berisiko terkena sanksi Pasal 13 ayat (3) KUP dalam hal
terjadi kelebihan bayar PPN karena pengkreditan pajak masukan yang tidak seharusnya. Sanksi yang besar
ini tentu sangat memboroskan keuangan perusahaan.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN, secara berlawanan dapat diartikan bahwa Pajak masukan
yang dapat dikreditkan adalan pajak masukan yang faktur pajaknya memenuhi persyaratan formal dan
material sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN. Untuk itu pihak perusahaan harus
selalu mengecek fisik dari faktur pajak yang diterimanya agar memenuhi kedua persyaratan sebagaimana
diatur pasal Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN.
144 Ikatan Akuntan Indonesia