Page 295 - MODUL AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH
P. 295
dijual maupun untuk di hibahkan”, maka yang demikian itu, menurut
pendapat yang paling benar, dinilai sebagai lafadz yang jelas.
Namun kejelasan yang digambarkan oleh Nawawi pada contoh terakhir
bukan merupakan kejelasan secara langsung. Lafal ini menjadi sarih (jelas)
karena adanya indikasi yang mengarah pada makna wakaf secara jelas. Jika
tidak ada indikasi tersebut, maka ungkapan itu dengan sendirinya menjadi
samar tau tidak jelas.
b. Lafaz kiasan (kinayah)
Kalau lafal ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf. Sebab lafadz
“tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat dan shadaqah
sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa juga berarti wakaf.
Kemudian lafadz “abbadtu” juga bisa berarti semua pengeluaran harta benda
untuk selamanya. Sehingga semua lafadz kiyasan yang dipakai untuk
mewakafkan sesuatu harus disertai dengan niat wakaf secara tegas.
Ada perbedaan pendapat antara Ulama’ Madzhab dalam menentukan syarat
sighat (lafadz). Syarat akad dan lafal wakaf cukup dengan ijab saja menurut
ulama Madzhab Hanafi dan Hanbali. Namun, menurut ulama Madzhab
Syafi’i dan Maliki, dalam akad wakaf harus ada ijab dan kabul, jika wakaf
ditujukkan kepada pihak/ orang tertentu.
Sedangkan di dalam KHI Pasal 223 menyatakan bahwa :
1) Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan
ikrar wakaf.
2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf,
dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
285 |MODUL USAS LEVEL PROFESIONAL – AKAD, TATA KELOLA DAN ETIKA SYARIAH