Page 41 - Modul Pengantar Fikih Muamalah
P. 41
(6) PENETAPAN HUKUM YANG TIDAK ADA NASH NYA
Khallaf (2005) membagi penetapan hukum yang tidak ada nash nya sebagai berikut:
(a) Ijmak
Ijmak menurut istilah ushul adalah kesepakatan para mujtahid untuk memutuskan suatu
masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syar’i pada suatu
peristiwa. Definisi ini hanya berlaku setelah Rasulullah SAW wafat, karena selama
Rasulullah SAW hidup, maka beliau sendiri yang menjadi sumber tasyri’.
Untuk melakukan ijmak, terdapat empat rukun yang harus dipenuhi yaitu:
1. Jumlah mujtahid pada saat peristiwa itu lebih dari satu untuk melakukan sidang
kesepakatan.
2. Sepakat atas suatu hukum syar’i tentang suatu peristiwa, semua mujtahid yang
melakukan sidang kesepakatan harus menanggalkan jiwa kesukuan, kepentingan
golongan, dan ras sehingga hasil kesepakatan harus murni berdasar pada hukum
syar’i.
3. Harus ada kesepakatan dengan pendapat dari tiap mujtahid (semua mujtahid
memberikan respon atas peristiwa yang terjadi), baik pendapat itu dikeluarkan
dengan ucapan fatwa maupun perbuatan atau tindakan atas suatu peristiwa;
4. Semua mujtahid sepakat atas hasil sidang.
Ditinjau dari sudut pandang cara menghasilkan hukum, terdapat dua macam ijmak:
1. Ijmak sharih (bersih atau murni), ijmak sharih merupakan kesepakatan mujtahid
terhadap hukum mengenai suatu peristiwa yang masing-masing mujtahid bebas
mengemukakan pendapat, hal ini jelas terlihat pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan
mujtahid dan tiap-tiap mujtahid merupakan sumber hukum atau orang yang memang
ahli dari menghukumi suatu peristiwa tersebut, hal ini jelas terlihat dari pendapat-
pendapat mereka.
2. Ijmak sukuti, disini sebagian mujtahid terang-terangan mengemukakan pendapatnya
melalui fatwa atau memutuskan suatu perkara, disisi lain sebagian yang lain hanya
berdiam diri yang berarti menyetujui saja.
37 | MODUL USAS PENGANTAR FIKIH MUAMALAH