Navigate to:
20 Juli 2016 - Siaran Pers
Tax amnesty menjadi pintu masuk repatriasi aset wajib pajak
yang terpendam di luar negeri. Iming-iming dana ratusan triliun yang
mengiurkan, membuat pengesahan RUU tax
amnesty diakselerasi. Langkah maju menyiapkan pembiayaan yang berkesinambungan.
Di tengah
perekonomian global dan domestik yang masih lemah, target pajak yang tumbuh
24,7% atau naik Rp300 triliun dari penerimaan pajak 2015, tak menciutkan nyali
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi untuk merengkuhnya. Dia sedang
menanti kabar baik dari Senayan agar senjata berupa Undang-Undang Tax Amesty,
segera disetujui.
Meski belum pasti menuai untung, Ken tampaknya optimis
kebijakan fiskal ini tidak berakhir buntung sebagaimana pengalaman pengampunan
pajak pada tahun 1964 dan 1984 yang tidak efektif karena minimnya partisipasi
wajib pajak atas kebijakan tersebut. “Banyak yang bilang tax amnesty yang dulu
tidak berhasil. Pada 1964 tidak berhasil karena saat diterapkan ada Gerakan 30
September. Sementara yang 1984, tujuannya hanya mengganti sistem perpajakan,
bukan untuk mengembalikan dana-dana,†ujar Ken dalam diskusi IAI KAPj bertema
Kupas Tuntas Tax Amnesty dalam Membangun
Perekonomian Indonesia di Jakarta, awal Mei lalu.
Menurutnya pengampunan pajak kali ini bertujuan untuk
melakukan repatriasi aset untuk mengembalikan dana dana dari luar negeri untuk
menggerakkan per¬ekonomian di dalam negeri.
“Jika banyak investasi masuk, akan meningkatkan penerimaan
tenaga kerja dan daya beli sehingga menciptakan objek pajak yang baru. Jadi tax
amnesty dapat mengembalikan dana ratusan
triliun rupiah. Sehingga penerimaan pajaknya bisa meningkat,†kata Ken.
Ken mengutarakan ada kebocoran pajak yang cukup besar di
dalam negeri karena sistem perpajakan yang berlaku saat ini. Selain itu sumber
daya DJP yang terbatas hanya sekitar 4000 yang harus melayani jutaan wajib
pajak. DJP tidak pernah mencatat penerimaan pajak karena penerimaan pajak dibukukan Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
Sehingga kalau tidak ada pemeriksaan tidak akan ada pengemplang
pajak. Selain itu, pegawai pajak dilarang menanyakan asal usul harta dari wajib
pajak. Saat mengisi SPT itu ada satu syarat yang tidak pernah tercantum yaitu
kejujuran dari wajib pajak itu sendiri. “Dengan adanya pengampunan pajak maka
akan ada keterbukaan data yang penting
bagi DJP,†kata Ken.
Wakil Ketua MPR, Oesman Sapta menjelaskan kebijakan tax
amnesty memang mendorong adanya repatriasi dana dari luar negeroi untuk menjadi
pembiayaan alternatif dalam pembangun¬an nasional. Dengan dite¬rapkannya
kebijakan ini, masyarakat dimin¬ta ikut secara sukarela melaporkan harta
kekayaan yang ada di dalam dan luar negeri serta membayar uang tebusan untuk
memperoleh pengampunan pajak yang belum dibayar.
Dia mengatakan repatriasi aset menjadi strategi jitu
menambal kebutuhan dana pembangunan yang sedang memperkuat ketersediaan
infrastrukturnya. Dana hasil repatriasi aset
tersebut dapat dimanfaatkan mendanai program investasi dan pemba¬ngunan
yang saat ini dila¬kukan pula untuk sektor pertanian, pendidikan, kesehatan,
dan usaha ekonomi rakyat kecil. Program tersebut masih sulit dibiayai karena
penerimaan pajak yang rendah akibat rendahnya kepatuhan wajib pajak.
Kejar Repatriasi Tingkatkan Penerimaan
Dalam APBN,
penerimaan pajak ditarget 70% tapi tax ratio-nya masih rendah hanya
sekitar 11-12%. Di tengah lemahnya penerimaan pajak tersebut, ternyata masih
banyak dana orang kaya Indonesia yang disimpan di luar negeri.
Bagi Oesman, ‎nyawa dari APBN itu adalah pajak karena
sekitar 70 persen dana APBN dihasilkan dari penerimaan pajak. Hanya saja target
APBN itu dikhawa¬tirkan tidak terpenuhi akibat banyaknya ketidakpatuhan
“Data Global Financial Integrity setiap tahun sekitar Rp200
triliun aliran dana gelap dilarikan keluar negeri. Maka diperlukan kebijakan
terobosan di bidang pajak. Pemaafan tersebut diberikan jika wajib pajak dapat
membayar pajak sesuai besaran yang ditentukan,†kata Oesman.
Hanya saja, kata Oesman, masih ada kekhawatiran dari
sejumlah wajib pajak yang tidak membayar jika mereka nanti memasukkan dananya
ke Indonesia, ternyata setelah dua tahun kemudian mereka akan dikejar kembali
seperti pembayar pajak biasa. Hal itu sedang dibahas dan dikaji secara mendalam
oleh DPR RI.
Oesman menjelaskan perlu ada sistem dan aturan kebijakan
pembayaran pajak saat ini, sehingga perlu pembenah¬an pola atau sistem yang dirangkum dalam 5 S,
yaitu, pertama perlu dikaji strategi apa yang da¬pat dijadi¬kan effort untuk
efek¬tivitas pene¬rimaan pajak. Ke¬dua,
struktur orga¬nisasi se¬perti apa yang cukup baik diterapkan dalam
rangka mening¬katkan kepatuh¬an perpajakan. Ketiga dibutuhkan skill atau
pening¬katan ka¬pa¬sitas dan keahlian dari tenaga di lembaga perpajak¬an da¬lam
melaksanakan tugasnya.
Selanjutnya, adanya sistem yang konsisten. Karena itu itu siapapun pejabatnya, sistemnya
harus kuat dan berlaku tetap untuk 15 tahun hingga 25 tahun ke depan. Kelima,
speed atau percepatan dalam menerapkan
setiap strategi guna mendorong penerimaan di sektor perpajakan.
“The right man in the right place. Jangan ada nepotisme dan
kolusi. Akuntan pajak ja¬ngan berselingkuh kepada pembayar pajak,†katanya.
Minimalkan Kesenjangan
Ketua DPN IAI/Wakil Menteri Ke¬uang¬an RI, Prof. Mardiasmo
menjelaskan 70 tahun Indonesia merdeka, masih terjadi kesenjangan pembangun¬an
di daerah Jawa dan luar Jawa. Selain itu, terlihat perbedaaan yang mencolok
bagi kalangan miskin yang belum dapat menikmati ke¬sejahteraan dan pemerataan
ekonomi seperti yang sudah dinikmati golongan kaya.
“Tax Amnesty dengan repatriasi aset ini bertujuan untuk memperbaiki
perekonomian nasional dengan segala bentuk investasi yang bisa dirasakan oleh
masyarakat. Pembangunan proyek investasi tersebut membutuhkan dana besar yang
tidak hanya berasal dari APBN,†kata Mardiasmo.
Ketua tim evaluasi pengawasan, percepatan dan reali¬sasi
perpajakan ini mengatakan dana hasil repatriasi aset ini nantinya akan
dimanfaatkan untuk menggerakkan pembangunan infrastruktur yang merata di setiap
daerah di Indonesia.
Pemerintah membutuhkan dana besar yang bukan pinjaman atau utang yang akan diambil dari aset orang
Indonesia yang tersimpan diluar negeri untuk dimanfaatkan kembali di dalam
negeri. Kebijakan ini juga dinilai dapat memperbaiki database wajib pajak serta
memperbaiki admi¬nistrasi perpajakan di Indonesia.
“Filosofi tax amnesty lebih kepada konsep ekonomi dalam
membangun negara ini dengan mengurangi ke¬senjangan pembangunan sehingga
pertumbuhannya merata. Dana itu dimanfaatkan untuk rekonsiliasi nasional.
Prinsip kebijakan ini tetap merangkul para wajib pajak dan membuat mereka
merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan kewajiban pajaknya,†kata dia.
Meski memberikan banyak dampak untuk perekonomian nasional,
kebijakan ini diharapkan hanya berlaku efektif sekali saja untuk satu generasi
de¬ngan sosialisasi yang luas untuk masyarakat.
Sebab jika pengampunan pajak dilakukan berkali-kali, bisa
menyebabkan wajib pajak selalu menunggu program pengampunan pajak berikutnya
sehingga me¬reka akan lalai menjalankan kewajiban pajaknya.
“Kita ingin sekali saja (diterapkan), nanti bisa dieva¬luasi lagi. Nanti ada konsolidasi
dan rekonsiliasi secara nasio¬nal. Harapannya jika satu kelompok sudah
melaksanakan kebijakan ini dan merasa nyaman, mereka akan mengajak semua untuk terlibat,†ujar
Mardiasmo. *IFA/AFM
(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi
April – Juni 2016)
CA, Tentukan Kesuksesanmu!