Dewan Standar Akuntan Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengeluarkan PSAK 16: Aset Tetap sejak proses konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standars) tahap I pada 2012 lalu, sebagai panduan bagi entitas yang ingin melakukan revaluasi aset di Indonesia. Namun ada keengganan dari entitas untuk merevaluasi aset secara akuntansi karena khawatir harus membayar mahal biaya penilai publik atau takut implikasi pajaknya.
Pemerintah melalui PMK 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016, memberikan keringanan tarif pajak bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aset pada tahun 2015 dan 2016. Khusus untuk tahun 2015 dan 2016, wajib pajak (WP) dapat menikmati tarif khusus 3% jika WP telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap dan melunasi pajaknya sampai 31 Desember 2015, 4% untuk pelunasan dari 1 Januari sampai 30 Juni 2016, dan 6% untuk pelunasan hingga 31 Desember 2016.
Terkait dengan terbitnya PMK 191 Tahun 2015, Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI memberikan klarifikasi bahwa revaluasi aset berdasarkan perpajakan harus dibedakan dengan revaluasi berdasarkan akuntansi. Anggota DPN IAI, Rosita Uli Sinaga mengatakan, apabila suatu perusahaan ingin melakukan revaluasi berdasarkan perpajakan saja diperbolehkan atau melakukan revaluasi baik secara perpajakan dan secara akuntansi. Jika suatu perusahaan akan melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan harus mengikuti ketentuan perpajakan, sedangkan revaluasi untuk tujuan akuntansi harus mengikuti Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, yaitu PSAK 16: Aset Tetap.
Terdapat beberapa perbedaan perlakuan revaluasi secara pajak dan akuntansi. Dari pandangan perpajakan, revaluasi hanya dilakukan pada suatu titik tertentu dan diperbolehkan melakukan revaluasi lagi untuk jangka 5 tahun kedepan. Revaluasi dapat dilakukan untuk aset tertentu yang dimiliki perusahaan. Sedangkan PSAK 16 mengatur bahwa apabila perusahaan memilih model revaluasi aset tetap maka perubahan kebijakan aktiva tersebut harus dilakukan secara konsisten. Revaluasi harus dilakukan secara reguler dan harus dilakukan untuk seluruh aset dalam kelompok yang sama.
Peraturan OJK mengatur lebih ketat karena mensyaratkan perusahaan terbuka yang memilih menggunakan model revaluasi untuk melakukan penilaian kembali nilai wajar dengan menggunakan penilaian dari KJPP. Hal ini dianggap dapat memberatkan emiten.
Salah satu sesi seminar akan membahas Asset Revaluation: The Implication on Tax, Accounting, and Performance Management. Sesi ini akan membahas isu publik terkait revaluasi aset yang diatur dalam PMK 191 Tahun 2015 dan implikasinya, sebagai jawaban atas kebijakan ekonomi jilid V pemerintahan Jokowi-JK.
Diskusi tentang revaluasi aset menghadirkan narasumber Djohan Pinnarwan (Ketua DSAK IAI), Prof. John Hutagaol (Direktur Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak), dan perwakilan OJK. Anggota DPN IAI, Rosita Uli Sinaga akan menjadi moderator dalam sesi diskusi yang juga akan dihadiri oleh Prof. Mardiasmo selaku Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI dan Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Djohan Pinnarwan, Ketua DSAK IAI mengatakan, banyak salah kaprah yang berkembang di dunia bisnis terkait revaluasi ini. Padahal revaluasi ini sudah diatur sejak konvergensi IFRS 2012 di dalam PSAK 16. “PSAK 16 sudah lama mengatur tentang revaluasi ini. Tapi tidak banyak yang pakai karena perusahaan takut implikasi pajaknya, serta takut mengeluarkan biaya tambahan. Padahal ini salah kaprah,” ujar Djohan.
Dulu revaluasi akuntansi selalu dikaitkan dengan revaluasi pajak. Sejak konvergensi IFRS keduanya diputus. Entitas bisnis bisa memilih salah satu, apakah akan melakukan revaluasi akuntansi tanpa revaluasi pajak, atau sebaliknya. Menurut Djohan, karena tujuan keduanya berbeda, dua proses itu tidak perlu disatukan.
Dari sudut pandang ini, PSAK sebenarnya sudah mendukung kebijakan pemerintah. Revaluasi ini dilakukan untuk memperbaiki neraca entitas. Yang harus disadari, tidak ada penambahkan cash flow perusahaan yang telah melakukan revaluasi karena perhitungannya hanya dibuku. Pun entitas tidak bisa membagikan dividen dari proses ini.
“Revaluasi itu tujuannya untuk memperbaiki neraca. Tentu saja ada harga yang harus dibayarkan ketika melakukan revaluasi itu. Dalam menghitung RoA (Return on Asset) misalnya, ketika pembaginya makin besar, angka pengembalian terlihat semakin kecil. Tapi DER (Debt to Equity Ratio) akan terlihat semakin baik,” Djohan menjelaskan.
Ada dua syarat untuk melakukan revaluasi. Pertama dilakukan untuk seluruh class of asset. Artinya jika satu aset direvaluasi, hal itu juga harus dilakukan terhadap aset di kelas yang sama. “Misalnya entitas merevaluasi sebidang tanah, dia harus merevaluasi seluruh tanah yang dimiliki. Tidak bisa memilih sesuai keinginan (cherry picking),” jelas Djohan. Akuntansi harus diterapkan secara konsisten karena PSAK tidak mengizinkan hal-hal seperti itu. Syarat kedua, karena ini adalah pilihan, sekali entitas memilih melakukan revaluasi, dia tidak bisa kembali ke model historical cost. Asumsinya informasi fair value ini lebih relevan dibanding informasi historical cost.
Tapi revaluasi tidak harus dilakukan setiap tahun sepanjang nilai aset tidak berubah signifikan, tetapi dilakukan secara reguler. Selain itu, revaluasi juga tidak selalu harus dilakukan oleh penilai publik, namun bisa juga dilakukan oleh pihak internal. Yang jelas nanti hasilnya harus diaudit oleh pihak independen.
Kalau entitas berkeinginan melakuan revaluasi, akuntansi menjembatani. Aturan baru pemerintah melalui PMK 191 Tahun 2015 mempermudah entitas yang melakukan revaluasi untuk mendapatkan insentif pajak. “Dalam hal ini, IAI telah dan sangat mendukung kebijakan pemerintah terkait revaluasi dengan memberikan ruang gerak yang luas terkait revaluasi aset tetap,” tutup Djohan.