Navigate to:
13 Desember 2019 - KAPj
(Jakarta, 13 Desember 2019) - Pemerintah berkomitmen menjadikan Indonesia tempat terbaik untuk memulai dan menumbuhkan bisnis digital, meskipun itu berarti pemerintah harus memperbarui kebijakan dan prinsip-prinsipnya agar mencerminkan perubahan ekonomi. Di sisi lain, ekonomi digital merupakan tantangan besar bagi sistem perpajakan internasional, karena belum ada kesepakatan bagaimana pemungutan pajak digital yang memadai di suatu negara terkait ketidakhadiran fisik dari perusahaan yang melakukan transaksi digital.
Itulah latar belakang Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI) kembali mengadakan Regular Tax Discussion (RTD) dengan tema, “Current Update on Digital Taxation†di Grha Akuntan, Jakarta. RTD ini menampilkan dua pembicara global, Andrew Aurbach yang merupakan Senior Tax Advisor Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan Richard Stern dari EY Global. RTD merupakan dialog perpajakan yang secara rutin dilaksanakan KAPj IAI dalam rangka memberikan pemahaman akan perkembangan terkini perpajakan Indonesia kepada Anggota IAI dan stakeholders perpajakan Indonesia.
Tampil sebagai pembicara, Andrew Aurbach dari OECD menjelaskan, tiga tantangan utama yang dihadapi dunia perpajakan global di era digital adalah semakin memuncaknya ketegangan pada sistem perpajakan global, tidak adanya proposal regulasi yang sepenuhnya didukung oleh negara-negara utama, dan komitmen politik dari negara-negara besar yang fluktuatif.
Aurbach, didepan peserta RTD mengatakan, terkait dengan ketegangan sistem, beberapa waktu terakhir telah terjadi sengketa pajak dan audit secara agresif di berbagai negara. Sengketa ini dibarengi dengan pengukuran dan pemahaman yang berbeda-beda antar negara sehingga ditangani dengan cara dan pendekatan yang berbeda pula. Ini seringkali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan entitas multinasional, sekaligus ketidakpuasan pada alokasi hak pemajakan di berbagai negara. Sementara terkait dengan proposal penyelesaian pemajakan antar negara, Aurbach melihat sejauh ini tidak ada satupun proposal yang disetujui oleh negara-negara pengusung inclusive framework dari OECD dan G-20.
Dalam rangka mencari solusi atas berbagai sengketa itu, OECD telah mengajukan proposal untuk memastikan perusahaan multinasional, termasuk perusahaan digital, dapat membayar pajak di tempat mereka memiliki kegiatan signifikan yang berhubungan dengan konsumen dan menghasilkan keuntungan. Aurbach mengatakan, proposal ini adalah kemajuan yang nyata untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi menuju solusi berbasis konsensus untuk merombak sistem perpajakan internasional berbasis aturan pada 2020.
Proposal baru OECD tersebut telah menyatukan unsur-unsur umum dari tiga proposal yang bersaing di negara-negara anggota. Proposal ini didasarkan pada kinerja Inclusive Framework OECD/G-20 tentang BEPS. Mereka mengelompokkan 134 yurisdiksi dalam posisi setara untuk negosiasi multilateral tentang peraturan pajak internasional yang cocok untuk tujuan ekonomi global abad ke-21. Hal tersebut akan memastikan perusahaan multinasional yang melakukan bisnis yang signifikan di tempat-tempat di mana mereka tidak memiliki kehadiran fisik, akan dikenakan pajak di yurisdiksi tersebut.
Kepastian ini dimunculkan melalui pembuatan aturan baru yang menyatakan dua aspek. Pertama, di mana pajak harus dibayar (nexus rules). Kedua, berapa bagian (porsi) dari laba mereka yang harus dikenakan pajak (profit allocation rules).
Inclusive Framework dalam digitalisasi ekonomi adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengembalikan stabilitas dan kepastian dalam sistem pajak internasional. Selain itu, ada upaya untuk mengatasi kemungkinan tumpang tindih dengan aturan yang ada dan mengurangi risiko pajak berganda. Selain elemen-elemen khusus untuk realokasi hak pemajakan, pilar kedua bertujuan untuk menyelesaikan masalah BEPS yang tersisa. Pilar ini untuk memastikan pajak penghasilan minimum atas laba perusahaan multinasional.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Richard Stern dari EY Global. Menurutnya, tantangan global yang dihadapi baik negara maupun sektor privat di dunia, terkait dengan ketiadaan prinsip yang jelas yang dapat menerapkan sistem pemajakan berkeadilan di tiap yurisdiksi. Stern menilai proposal OECD ini adalah langkah maju yang dapat mendorong pemajakan yang lebih adil diterapkan di negara-negara yang selama menjadi basis bisnis dan pendapatan dari perusahaan multinasional, termasuk perusahaan digital. Namun setelah ini masih isu-isu teknis yang harus segera diselesaikan agar tercipta solusi yang komprehensif dan bisa diterima semua pihak.