Navigate to:
15 Mei 2020 - Siaran Pers
Dalam rangka meningkatkan mitigasi risiko terjadinya sengketa transfer pricing dalam perpajakan lintas negara, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 22/PMK.03/2020 terkait tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA), serta mencabut Peraturan Menteri Keuangan nomor 7/PMK.03/2015. PMK ini diterbitkan untuk memenuhi standar internasional serta untuk menekan biaya kepatuhan wajib pajak serta biaya administrasi DJP.
PMK ini juga diterbitkan untuk memenuhi standar internasional dalam penanganan sengketa perpajakan internasional sesuai BEPS Action 14, dan menyempurnakan peraturan serta proses bisnis pelaksanaan APA. APA merupakan instrumen untuk memitigasi risiko terjadinya sengketa transfer pricing terkait transaksi hubungan istimewa. Dengan demikian, APA memberikan manfaat bagi Wajib Pajak karena dapat memberikan kepastian hukum atas kelangsungan usahanya ke depan serta menekan biaya kepatuhannya.
Ketua Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI), Prof. John Hutagaol menegaskan hal itu di dalam sambutannya ketika membuka Reguler Tax Discussion (RTD) dengan tema Advanced Pricing Agreement: Upaya Meminimalkan Sengketa Perpajakan Terkait Isu Transfer Pricing, Kamis, (14/05). RTD ini berlangsung secara virtual melalui platform Microsoft Teams, diikuti 207 peserta dan menampilkan narasumber Dwi Astuti, Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional DJP dan Danny Septriadi, Senior Partner DDTC serta moderator Jul Seventa Tarigan, Pengurus KAPj IAI.
Menurut Prof. John, bagi Wajib Pajak, APA merupakan insentif. APA juga memberikan manfaat bagi DJP, karena selain dapat menekan jumlah sengketa pajak yang timbul dari praktik transfer pricing yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, APA juga dapat menekan beban administrasi (administrative cost).
Teknis Penerapan APA
Pada kesempatan itu, Dwi Astuti mengatakan fasilitas APA yang tercantum dalam PMK 22/2020 merupakan sebuah keistimewaan yang menjadi insentif bagi WP. Karena itu APA dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan perpajakan lintas yurisdiksi. Instrumen APA merupakan bentuk komitmen antara otoritas dengan WP untuk saling transparan dalam urusan perpajakan, khususnya untuk transaksi yang memiliki hubungan istimewa.
Dalam paparannya, Dwi Astuti menjelaskan bahwa PMK 22/2020 memperluas tahun yang dicakup dari sebelumnya tiga tahun untuk Unilateral Advance Pricing Agreement (UAPA) dan empat tahun untuk Bilateral Advance Pricing Agreement (BAPA), kemudian diubah menjadi masing-masing lima tahun. Selain itu, tahun yang dicakup dalam APA diberlakukan untuk tahun-tahun sebelum tahun pajak periode APA (dengan persyaratan tertentu) yang disebut Rollback. Ketentuan Rollback tersebut sesuai dengan international best practice yaitu BEPS Action 14.
PMK 22/2020 menyederhanakan prosedur pengajuan APA yaitu tanpa harus melalui tahapan pembicaraan awal atau pre-lodgement meeting. Pengajuan dilakukan cukup dengan mengisi formulir permohonan APA, dan dilampiri dengan surat pernyataan bersedia melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses APA dan bersedia melaksanakan kesepakatan APA. Kelengkapan dokumen sendiri baru disampaikan ketika DJP telah menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan APA oleh WP.
Jangka waktu penyelesaian untuk setiap tahapan dalam proses APA telah diatur dalam PMK 22/2020 tersebut. Permohonan APA diselesaikan dengan pengujian material oleh DJP dan perundingan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra P3B. Untuk APA unilateral, perundingan harus dimulai dalam jangka waktu 6 bulan sejak Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan dokumen permohonan, dan harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak perundingan dimulai. Sedangkan untuk APA bilateral, perundingan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur MAP.
PMK 22/2020 juga mengatur penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). Pengaturan PKKU meliputi prinsip-prinsip dalam penerapan PKKU dan panduan teknis pelaksanaan PKKU, yang bertujuan untuk meminimalisir perbedaan persepsi antara Wajib Pajak dan DJP dalam menerapkan PKKU.
Danny Septriadi, Senior Partner DDTC menambahkan, kondisi perekonomian saat ini yang sangat dipengaruhi oleh pembatasan akibat Covid-19, akan sangat memengaruhi tingkat profitabilitas hingga menimbulkan kerugian pelaku usaha. Ia menekankan akan besarnya potensi meleset dari kesepakatan terkait jumlah pembayaran dalam APA yang sudah dicapai. Karena itu, kondisi extra-ordinary ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan DJP dalam menerapkan kebijakan perpajakan.
Tentang IAI
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah organisasi profesi akuntan yang menaungi seluruh akuntan di Indonesia. IAI merupakan anggota dan pendiri International Federation of Accountants (IFAC) dan ASEAN Federation of Accountants (AFA), serta associate member Chartered Accountants Worldwide (CAW). Sebagai standard setter, IAI menyusun dan menetapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.
Informasi lebih lanjut tentang IAI dan KAPj IAI, kunjungi www.iaiglobal.or.id, atau email ke iai-info@iaiglobal.or.id. Terkait pandemi Covid-19, IAI telah mengeluarkan sejumlah guidance yang bisa diakses melalui http://iaiglobal.or.id/v03/home